JMSI Melakukan Penolakan Terhadap RUU Penyiaran, yang Diklaim Bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pers

Swaraetam.com, Jakarta – Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) menegaskan penolakan terhadap draf RUU Penyiaran yang sedang disusun oleh DPR RI. Menurut JMSI, draf tersebut mengandung pasal-pasal yang dianggap merugikan kebebasan pers dan berpotensi mengancam demokrasi.

JMSI mengingatkan, kemerdekaan pers dan hak masyarakat akan informasi dijamin oleh UUD 1945.

Salah satu ketentuan yang menuai perhatian dari publik, terutama kalangan pers, dalam draf revisi UU Penyiaran adalah Pasal 50 B ayat (2) huruf c yang secara tegas melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif.

Ketua Umum JMSI Teguh Santosa mengatakan, bunyi Pasal 50B ayat (2) huruf c itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Pasal 50B ayat 2 huruf c juga dianggap bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2) yang menegaskan bahwa pers nasional tidak boleh disensor, dibredel, atau dilarang untuk melakukan penyiaran.

“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi dan radio serta media digital mereka,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima redaksi, Selasa (14/5/2024) malam.

Secara subtansi, sambung Teguh, aturan yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi oleh lembaga penyiaran dapat diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kemerdekaan pers di tanah air.

Teguh juga menegaskan, bahwa masyarakat khawatir RUU Penyiaran dapat disalahgunakan sebagai alat kekuasaan dan politik oleh pihak-pihak tertentu untuk meredam praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Selain itu, pasal huruf k di dalam Pasal 50B ayat (2) RUU Penyiaran juga secara tegas melarang penayangan “isi siaran” dan “konten siaran” yang berpotensi menyajikan berita bohong, fitnah, penghinaan, serta pencemaran nama baik.

Menurut Teguh, bagian ini sangat multi tafsir dan berpotensi menjadi “pasal karet”. Ia mengingatkan, penilaian terhadap “berita bohong” adalah domain dan kewenangan Dewan Pers seperti diatur dalam UU Pers yang disemangati UUD 1945.

JMSI juga menilai bahwa Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) dalam RUU Penyiaran, yang menetapkan penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik lembaga penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dianggap tidak pantas.

Menurut pendapat Teguh,” katanya, “bagian ini harus diperiksa ulang dengan serius karena berkaitan erat dengan mandat UU Pers yang memberikan wewenang kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa dalam karya jurnalistik.

Mantan anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini mengingatkan DPR RI bahwa baik UUD 1945 maupun UU Pers memberikan mandat kepada masyarakat pers nasional untuk mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional, dan berkualitas melalui mekanisme self-regulation.

Oleh karena itu, setiap sengketa yang terkait dengan karya jurnalistik, baik yang disiarkan melalui media cetak, media siber, maupun lembaga penyiaran, hanya dapat diselesaikan melalui proses penyelesaian sengketa di Dewan Pers.

“Ini untuk memastikan bahwa kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas, dan bertanggungjawab dapat berlangsung independen tanpa intervensi dari pihak manapun,”ujarnya.

Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ) ini mendesak DPR RI untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap RUU Penyiaran dan memastikan keselarasannya dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU 40/1999 tentang Pers.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *