Swaraetam.com, Tenggarong – Masih segar di ingatan Aidil Amin ketika ia harus merawat seekor bekantan yang tertembak oleh senapan pembalak liar di kawasan Sungai Hitam, Kelurahan Kampung Lama, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim).
Satu peluru menembus bahu kiri primata langka yang dikenal sebagai Long-Nosed Monkey. Peristiwa tragis itu terjadi pada awal 1990-an ketika Aidil memasuki usia remaja dewasa.
“Para pemburu itu memang sengaja menembaki bekantan karena ingin mengubah habitatnya menjadi lahan sawit,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sungai Hitam Lestari itu, Rabu (27/3/2024).
Kerusakan habitat bekantan lebih sering terjadi di daerah yang berada di tepi sungai. Hal ini disebabkan karena kawasan hutan di tepi sungai cenderung mudah dijangkau dan seringkali dialihfungsikan menjadi permukiman, tambak, dan lahan pertanian.
Pada tahun 1990-an, luas habitat bekantan mencapai 29.500 kilometer persegi (km2). Sayangnya, sekitar 60 persen dari luas tersebut, atau sekitar 17.700 km2, telah beralih fungsi. Saat ini, hanya tersisa sekitar 11.800 km2 yang masih menjadi rumah yang aman bagi primata langka ini.
Pada tahun 2013, di Kecamatan Samboja, jumlah bekantan mencapai 188 ekor, tersebar di sembilan spot area Sungai Hitam. Namun, terjadi perubahan ekologis yang mengganggu kesehatan kawasan Sungai Hitam, baik di hulu maupun hilir.
Seperti adanya pertambangan batu bara di hulu yang menyebabkan keruhnya air sungai akibat pembuangan limbah ke sungai.
Sementara di hilir, luasan area bekantan berkurang 3 Ha akibat alih fungsi lahan menjadi permukiman, tambak, dan perkebunan.
Aidil bersama lima pemuda lain, yang juga masih kerabat, telah belasan tahun melakukan upaya menjaga dan melestarikan bekantan dan habitatnya.
Mereka membersihkan sampah yang masuk ke Sungai Hitam, menjaga dan merawat bekantan dari perburuan liar, serta menanam dan merawat mangrove jenis rambai di sepanjang aliran sungai.
Tanaman yang menjadi rumah bagi bekantan dan menyediakan makanan bagi monyet hidung panjang (Nasalis larvatus) dengan nama Latin tersebut adalah pohon-pohon di hutan rawa, seperti pohon bakau (Rhizophora spp.) dan pohon nipah (Nypa fruticans).
Aidil menyadari bahwa upaya konservasi tidak dapat dilakukan secara individual. Oleh karena itu, untuk memperkuat usaha konservasi, mereka membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sungai Hitam Lestari.
Pada tahun 2019, sebuah perusahaan migas yang beroperasi di wilayah Samboja memberikan dukungan kepada Aidil dan kelompoknya melalui Program Ekowisata Sungai Hitam Lestari.
“Kami mendapatkan banyak dukungan setelah itu. Tidak hanya soal pelestarian, tetapi juga pengembangan ekowisata,” kata pria yang mendapat penghargaan Kandidat Kalpataru 2020 itu.
Keberadaan Pokdarwis memang didukung sebagai wadah koordinasi sekaligus lembaga hukum yang menaungi aktivitas pelestarian bekantan.
Pokdarwis Sungai Hitam juga mengembangkan ekowisata berbasis pelestarian bekantan dengan memanfaatkan sempadan sungai yang sebelumnya kurang termanfaatkan dengan baik.
Beberapa kegiatan yang sangat bermanfaat, kata Aidil, antara lain pelatihan pemantauan dan perlindungan habitat bekantan, serta pelatihan memandu wisatawan (tour guide).
Di luar pengembangan kapasitas SDM itu, Pokdarwis Sungai Hitam Lestari juga terbantu dengan pembangunan fisik seperti renovasi gudang, pembuatan plang, pembuatan dermaga (jetty), serta pengadaan kapal.
Dengan kesiapan dan kemandirian dari Pokdarwis, Ekowisata Sungai Hitam Lestari (SHL) kini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Samboja. Ekowisata ini menawarkan susur sungai sembari melihat bekantan liar.
“Waktu terbaik untuk melihat itu jam 7 pagi sampai 10 pagi, dan kalau sore itu jam 3 sampai jam lima,” terang Aidil. Jika beruntung, pada jam-jam ini, wisatawan bisa melihat kelompok bekantan 10 hingga 20 ekor.
Untuk melihat bekantan liar di Ekowisata SHL, wisatawan lokal dikenakan tarif sebesar Rp 300 ribu per kapal untuk 4 orang atau Rp 600 ribu per kapal untuk 6 orang.
Untuk wisatawan mancanegara (wisman), tarif yang dikenakan adalah Rp 130 ribu per orang untuk satu jam susur sungai. Biaya susur sungai dapat bertambah apabila wisatawan menginginkan durasi yang lebih panjang.
Selain menawarkan susur sungai yang menarik bagi wisatawan yang ingin melihat langsung bekantan, Pokdarwis SHL juga mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) anggotanya. Salah satunya adalah pelatihan pengolahan buah nipah menjadi klapertart dan produksi teh jeruju.
(Adv/Kominfo Kukar)